Rabu, 06 Oktober 2010

strategi pemasaran dan perilaku konsumen di Perusahaan YAMAHA

Pasar sepeda motor di Indonesa termasuk yang paling besar di dunia, setelah negera China dan India. Sebab itulah para pemain sepedamotor dunia menganggap pasar Indonesia sebagai pasa yang sangat penting.

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan sebuah pertarungan yang sangat keras dan menarik antara produk Yamaha dan Honda. Setelah bertahun-tahun menguasai pangsa pasar dengan meyakinkan, kejayaan Honda tampaknya mulai terenggut dan siap-siap menyerah diserbu oleh produk Yamaha.

Fenonema keberhasilan Yamaha menggeser Honda memang sebuah kejadian yang sangat menarik dilihat dari perspektif strategi pemasaran. Tak pelak strategi pasa Yamaha untuk mengalahkan Honda ini dimulai semenjak mereka sukses memperkenalkan sepeda motor otomatis bermerk Mio. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang strategi pemasaran, silakan KLIK DISINI ).

Saat itu, pasar skutik memang sama sekali baru buat konsumen Indonesia. Yamaha melihat bahwa inilah salah satu peluang terbaik untuk merebut pasar sepeda motor di Indonesia. Ketika Yamaha mulai memperkenalkan Mio, sang penguasa pasar Honda tenang-tenang saja. Atau mungkin Honda mengalami semacam rasa percaya diri yang berlebihan. Orang menyebutnya sebagai danger of complacency atau puas diri yang berlebihan.

Saat itu Honda tak mau mengambil resiko menjadi pioner dalam pasar skutik. Alasannya adalah skutik merupakan produk baru yang masih asing di kalangan konsumen sepeda motor Honda. Lebih dari itu, Honda sendiri sudah merasa sangat nyaman dengan produk sepeda motor dua tak-nya yang sangat merajai pasar. Kalau mereka menjadi pioner pasar skutik, mereka takut ini justru bisa memakan pangsa pasar motor mereka sendiri.

Sebaliknya, Yamaha merasa nothing to lose. Produk sepeda motor konvensional mereja masih kalah jauh dengan Honda saat itu. Jadi mereka pikir tak ada salahnya menjadi pioner dalam pasar skutik. Begitulah akhirnya mereka meluncurkan sepeda motor Mio. Tanpa diduga oleh Honda, produk Mio ini mengalami sukses yang sangat besar. Bukan hanya itu. Mio telah membentuk pasar baru, yakni pasar skutik. Dan konsumen tanah air pun merasa skutik adalah pilihan motor yang bagus.
Akhirnya pasar skutik terbentuk dan pelan-pelan membesar, sejalan dengan laju penjualan Mio yang kian meningkat. Mio akhirnya menjadi raja dalam pasar skutik Indonesia. Inilah salah satu momen yang membuat brand Yamaha terdongkrak naik. Mio telah menyelamatkan dan sekaligus meningkatkan brand Yamaha dikalangan konsumen Indonesia.

Cerdiknya, Yamaha langsung menggunakan kesempatan ini untuk juga mendorong penjualan sepeda motor mereka yang kini juga telah menggunakan mesin empat tak. Merek Jupiter dan Vega didorong, sejalan dengan meningkatkan brand Yamaha di kalangan konsumen. Alhasil dua produk ini juga mengalami keberhasilan dalam pasar sepeda motor di Indonesia.

Pelan-pelan dengan beragam varian produk itu, Yamaha bisa menggeser kejayaan Honda dalam pasar sepeda motor di Indonesia.



sumber : http://rajapresentasi.com/2009/09/strategi-pemasaran-yamaha/

perilaku konsumen indomie nusantara

Perilaku konsumen indomie selera nusantara (kasus mahasiswa di bogor)/ -- 2004
Consumer Behaviour of Indomie Selera Nusantara (Case: Student of Universities in Bogor)

Oleh : Henry Sumurung Octavian, MB-IPB
Dibuat : 2008-10-07



HENRY SUMURUNG OCTAVIAN, 2004, Perilaku Konsumen Indomie Selera Nusantara (Kasus Mahasiswa di Bogor). Di bawah bimbingan MA'MUN SARMA dan M.D. DJAMALUDIN.

Indonesia sebagai negara berpenduduk besar telah menempatkan industri pangan sebagai industri yang strategis baik dalam penyerapan pasar maupun penyediaan sumber daya. Keragaman budaya dari ratusan suku bangsa yang tersebar di luasan wilayah kepulauan Indonesia merupakan warisan leluhur yang sangat bernilai tinggi. Perilaku makan merupakan bagian penting pula dari adat istiadat di banyak suku Bahkan makanan telah menjadi simbol kebudayaan dan berpotensi menjadi bagian budaya nasional.

Tuntutan akan kecepatan dan kepraktisan yang hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan dan kelompok masyarakat melahirkan budaya instan termasuk pada budaya makanan instan. Salah satu jenis makanan instan yang cukup popular adalah mi instan. Keberadaan mi instan di Indonesia dirasakan cukup fenomenal sejak diperkenalkan tahun 1969 telah mengalami lonjakan tingkat konsumsi yang cukup tinggi yaitu 43 bungkus/kapita/tahun di tahun 2000.

Indomie sebagai pemimpin pasar mi instant, dari sekitar 30 pemain, telah melakukan banyak terobosan dalam menjaga keutuhan pangsa dan bahkan meningkatkannya. Persaingan Indomie akan lebih diarahkan pada persaingan dengan produk pemium dan impor. Salah satu produk Indomie yang diluncurkan PT ISM (Indofood Sukses Makmur, Tbk) dalam program LIntas Budaya Nusantara adalah Indomie Selera Nusantara (ISN). ISN merupakan hasil dari pengembangan produk yang mengangkat cita rasa makanan khas daerah di Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka penelitian ini dilakukan untuk (1) mengidentifikasikan pola konsumsi konsumen mahasiswa terhadap ISN; (2) menganalisiskan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen mahasiswa terhadap atribut-atribut ISN; (3) menganalisis hubungan pola konsumsi ISN dengan selera makanan daerah

Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut yaitu dengan menggunakan metoda survey. Data diambil melaui contoh konsumen yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu (judgment non probability sampling) Adapun kriteria contoh adalah mahasiswa/i, konsumen makanan khas daerah dan mi instan serta merupakan pembuat keputusan dalam konsumsi mi instan.

Hasil survey penelitian terhadap 140 responden menunjukkan bahwa sebagian besar contoh konsumen ISN adalah berpengeluaran rata-rata per bulan dibawah Rp 500.000,-, bertempat tinggal di indekost

Perilaku konsumsi makanan khas daerah menunjukkan pola yaitu tingkat frekuensi konsumsi yang tidak menentu (82,1%), cara memperoleh makanan khas daerah melalui kombinasi antara membuat, membeli dan acara-acara khusus (44,3%). Sebagian besar responden menyukai makanan khas berjenis lauk (36,4%) dan sebanyak 45,4% mengkonsumsinya sebagai makanan selingan. Jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi adalah jenis makanan rebusan (39,8%). Adapun alasan mengkonsumsi makanan khas daerah adalah dikarenakan cita rasa yang terdapat pada makanan tersebut (86,76%). Sebanyak 40,7% responden terkadang merasakan kesulitan dalam memperoleh makanan khas daerah

Perilaku kosumsi ISN menunjukkan pola yaitu terdapat jumlah yang sama pada konsumen yang mengkonsumsi sedikit dan konsumen yang mengkonsumsi banyak (34,3%). Sebagian besar responden mengkonsumsi jenis rasa tertentu (59,3%). Dasar pertimbangan konsumsi sebagian besar responden adalah situasi dan kondisi saat proses pembelian (35%). Sebanyak 72,3% responden mengetahui atau menyadari keberadaan iklan ISN.

Hubungan antara perilaku konsumsi makanan khas daerah dan konsumsi ISN dengan menggunakan metode tabulasi silang dan uji asosiasi Chi-Square umumnya menunjukkan tidak adanya hubungan diantara kelompok variabel perilaku konsumsi makanan khas daerah dan variabel perilaku konsumsi ISN.

Melalui metoda Cochran Q-test dengan proses empat kali iterasi maka 18 atribut yang ada dirasakan hanya sebelas atribut yang dianggap penting yaitu harga, rasa, bobot, kandungan gizi, aroma, kesegaran, daya tahan, pengolahan, ketersediaan produk, pelengkap tambahan dan sertifikasi kualitas. Selanjutnya kesebelas atribut tersebut dianalisa menggunakan analisis sikap multiatribut Fishbein. Analisis tersebut menghasilkan nilai 142,85 yang memiliki arti netral. Kenetralan nilai sikap mutiatribut Fishbein memberikan gambaran bahwa atribut-atribut ISN tidak memberikan kesan yang cukup positif maupun negatif pada benak responden.

Pemetaan atribut berdasarkan lima wilayah rasa ISN (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur) menggunakan metoda analisis Biplot menunjukkan hanya dua wilayah rasa (Sumatera dan Jawa) yang memiliki keungulan atribut yang diuji yaitu Sumatera pada kelompok atribut pertama dan Jawa pada kelompok atribut kedua. Adapun kelompok atribut pertama yaitu atribut rasa, harga, bobot, ketersediaan, daya tahan, sertifikasi dan aroma. Sedangkan kelompok atribut kedua yaitu pelengkap, kesegaran dan gizi

Berdasarkan hasil analisis-analisis tersebut di atas maka dapat ditinjau ulang (review) penetapan STP (Segmentation. Targeting. Positioning) ISN dan konsep produk yang menjadi ekspektasi konsumen.