Begitu mulianya ilmu dan misi politik sehingga Aristoteles menyebutnya sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama ( common and highest good ) bagi sebuah negara. Menurut Aristoteles dalam Nicomchean Ethics, semua cabang ilmu yang lain di bawah kendali dan akan melayani implementasi ilmu politik guna menciptakan kehidupan social yang nyaman dan baik.
Di dalam tradisi agama, sosok kepala negara dicontohkan oleh figure nabi nabi. Para nabi merupakan sosok penggembala yang penuh tanggung jawab, mencintai gembalanya, dan tahu betul kemana harus berjalan membawa umatnya. Figur Musa, Yesus, dan Muhammad, merupakan ketauladanan yang masing-masing memiliki konteks ruang dan perilaku umat yang berbeda-beda. Ketiganya pernah menjadi penggembala, lalu menjadi penggembala umat yang disegani. Meski sekarang kita tahu, banyak orang mengaku sebagai umatnya, namun sebatas ucapan saja; perbuatan dan tindakannya jauh dari ajaran-ajaran para nabi.
Semasa Orde Baru, banyak kasus menarik bagaimana Presiden Soeharto kala itu melumpuhkan figure kuat.
Contoh nyata adalah Ali Sadikin yang saat itu di mata warga Jakarta lebih popular disbanding Presiden Soeharto. Waktu itu orang membayangkan, selesai menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin amat cocok memangku jabatan Menteri Dalam Negeri ( Mendagri ). Lalu bisa mengganti Presiden Soeharto, namun harapan dan dugaan rakyat meleset.
Juga nasib Sarwo Edhie yang didubeskan sehingga kehebatan dan pengaruhnya tidak membayangi kekuasaan Soeharto. Ambisi Habibie untuk membangun imperium iptek di Indonesia menjadi berantakan saat legalitas politik lepas dari tangannya. Sosok Abdurrahman Wahid yang magnetic bagi pendukungnya tidak mampu menciptakan gelombang gerakan setelah tidak lagi sebagai orang nomor wahid di Indonesia.
Kini sosok Megawati sedang mengawang di meja langit politik Indonesia, sehingga rakyat kecil pendukungnya yang tinggal di bumi merasa ditinggalkan. Akbar Tandjung, meski berarti, dia yang sangat besar, kalau tidak lagi duduk di kursi kebesarannya sebagai ketua DPR pasti akan berubah jangkauan pengaruhnya.
Kita tidak tahu bagaimana kiprah dan posisi Amien Rais, yang secara literer berarti pemimpin yang terpercaya, jika tidak pandai-pandai memelihara dan memanfaatkan legalitas jabatan politiknya serta tidak mampu menjaga integritas dirinya, bisa saja memperpanjang daftar orang-orang yang terjungkal dari panggung pergulatan dan perebutan kekuasaan.
Pertanyaannya, mengapa jabatan dan aktivitas politik itu menarik ? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Thomas Hobbes, jawabannya ialah untuk memperoleh kekuasaan (power), kemegahandiri (self-glory), dan kesenangan hidup(pleasure). Bagi para pejuang ideology keagamaan, jabatan dan kekuasaan politik dikejar-kejar untuk menegakkan hukum Tuhan di muka Bumi (menurut pemahaman mereka). Bagi sekelompok orang mungkin saja untuk mencari uang atau untuk melindungi bisnisnya.
Nurani dan nalar sehat menjadi amat kecewa saat melihat panggung politik yang pada dasarnya begitu mulia, berubah menjadi panggung gladiator, arena perebutan kekuasaan dengan cara saling memfitnah, menjegal, dan membunuh lawan.
Akibatnya apa yang disebut politik tidak lagi sebagai seni dan ilmu memperoleh kemenangan dengan cara elegan, cerdas, santun dan terhormat tetapi siapapun yang turun merasa terluka, kalah, dan sakit hati. Maka, muncul sederet putra-putra, terbaik negeri ini, yang menghabiskan hari-hari tuanya dengan rasa pilu, dan duka tergusur dan nista secara politik ketimbang pejuang yang telah mengabdi pada bangsa dan negara.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar