Minggu, 30 Mei 2010

Menemukan Sosok Indonesia

Setelah 5 tahun lebih soeharto tumbang, pemerintah ternyata masih berjalan ditempat, prahara dan krisis seakan enggan menjauh. Malah kini terus-menerus harus berhadapan dengan krisis politik, keamanan, social, dan yang paling mutakhir ancaman terorisme global. Sampai kapan sengsara ?

Menemukan kembali sosok Indonesia merupakan terjemahan bebas dari reinventing Indonesia. Istilah reinventing pertama kali dipakai oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene untuk judul salah satu buku mereka Reinventing the Corporation , terbit 19 tahun yang lampau.
Namun sosok Indonesia sulit dirumuskan. Sosok Indonesia tak pernah tetap dan selalu dalam konstruksi. Perjalanan 58 tahun lebih Indonesia merdeka penuh jatuh bangun. Ada saat emas seperti awal-awal tahun Orde Baru, ada pula saat kacau balau. “Jalan Tak Ada Ujung”, seperti Novel karya Mochtar Loebis. Perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik seolah-olah perjalanan tanpa ujung. Kita belum tahu kapan keadaan ini berakhir.
Keterpurukan Indonesia dalam hal efektifitas pemerintah di Asia Timur hanya lebih baik dari Laos. Peringkat indeks pembangunan manusia dunia menempati peringkat ke-110. Merajalelanya korupsi menempatkan Indonesia dalam kelompok negara jauh dibawah rata-rata negara miskin. Kualitas hidup manusia Indonesia dengan UMR (upah minimum regional), lebih dari 50 persen rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan.
Negara Indonesia yang dicita-citakan adalah negara yang kuat, dalam arti akuntabel legitimate, dan tidak dalam arti otoriter. Modelnya adalah dikembangkannya civil society. Campur tangan pemerintah yang berlebihan harus ditentang. Negara yang kuat bebas dari fanatisme dan kekerasan.
Sosok Indonesia yang terbayangkan adalah demokratis, multicultural, kosmopolistis yang memiliki civility dan berkeadilan social maupun politik. Negara demikian tidak bisa dihasilkan dalam semalam, tetapi melalui proses jatuh bangun.
Negara yang kuat tidak berarti pemimpinnya yang kuat, tetapi negara itu kuat dengan sendirinya. Bebas dari ideology yang memecah belah. Yang penting birokrasi dan akses kearah berkembangnya civil society dapat berjalan lancar. Misalnya, negara Swiss, rakyat tidak mempersoalkan siapakah pemimpinnya.
Ada sebuah kisah Alexander Agung, yaitu pada saat akan meninggal. Kerajaannya begitu luas, sementara pemimpin dalam arti sebenarnya hanya satu orang, yakni dia sendiri. Pada saat akan meninggal, beberapa jenderal bertanya, “akan diserahkan kepada siapa kekuasaannya”. Ia menjawab, “ akan diserahkan kepada yang paling kuat”. Timbullah chaos yang luar biasa karena masing-masing jenderal merasa dirinya paling kuat dan haus kekuasaan.
Kesalahan itu sama halnya dengan Indonesia, presiden atau para pemimpin negara kita tidak menanamkan kesadaran bahwa kekuasaannya, kendati milik sendiri sepenuhnya, sebenarnya adalah milik kolektif , yaitu rakyat atau bangsa Indonesia karena yang mempertahankannya juga merupakan tanggung jawab kolektif. Selain itu tidak menyiapkan kader pemimpin secara kolektif, meskipun tidak ada pemimpin yang sebaik pemimpin yang sekarang atau sebelumnya.
Indonesia adalah negara bangsa kolektif, milik semua bangsa Indonesia. Tidak ada satu orang atau kelompok yang memiliki Indonesia. Kesadaran ini yang perlu ditanamkan. Tidak ada pemimpin yang tidak dipersiapkan. Memang, proses persiapannya memakan waktu yang lama.
Untuk itu diperlukan pendidikan yang seluas-luasnya, cepat, dan murah. Bukan hanya sekedar praksis di sekolahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar